Egosentrisme Pendahulu dan Perlunya Dialog


Salah satu fenomena sosial yang paling menarik adalah ketika medapati sejumlah pemuda di suatu desa yang memiliki gagasan dan siap untuk membuat pergerakan, tetapi dihadang oleh seseorang atau beberapa orang yang karenanya mengalami perasaan campur aduk. Ada rasa simpati, ada rasa haru, tetapi juga ada rasa gengsi bercampur dengki.
Sebut saja Pakde KM (Inisial), beliau adalah salah seorang tokoh di tengah peradaban masyarakat desa yang mengalami perasaan campur aduk karena adanya gagasan dan pergerakan dari para pemuda. Padahal para pemuda ini hadir dengan membawa itikad yang baik, tentu saja. Dan, beberapa pihak dari lapisan masyarakat pun menginisiasi hal tersebut sebagai suatu hal yang baik yang tidak diragukan lagi.
“Bagaimanapun, sebagai orang yang lebih dahulu lahir dan menginjakkan kaki ke bumi ini, saya lebih memiliki pengetahuan dan pengalaman lebih dibanding mereka …” kata Pakde KM dalam hatinya, tetapi tak berani ia ucapkan kepada siapa pun, ketika mendengar salah seorang pemuda menyampaikan gagasan yang dimilikinya.
Seandainya Pakde KM itu orang cerdas, ia tentu bisa saja menuliskan karya ilmiah hasil penelitian empiris tentang apa saja yang berkaitan dengan apa yang telah disampaikan oleh para pemuda. Akan tetapi, ia adalah manusia yang (mungkin saja) hanya terkurung oleh tingkat-tingkat persekolahan sehingga merasa superior kemudian terjangkit egosentrisme.
Untuk para pemuda, andai kata tahu apa yang diucapkan oleh Pakde KM dalam hatinya, maka tenang saja. Kalau perlu senyumi atau tertawakan. Jangan dibikin ribet atau susah. Sebab manusia termulia pun, Muhammad, pernah mengalami hal serupa bahkan lebih, ditambah hal tersebut salah satunya disebabkan oleh pamannya sendiri.
Lalu, apa yang membuat Pakde KM merasa bersimpati, terharu, tetapi juga gengsi?
Bersimpati, karena itikad baik para pemuda untuk mengajak rakyat desa untuk maju dalam beberapa bidang. Namun terharu, karena bagaimanapun juga mereka adalah anak kecil di tengah usia tua peradaban masyarakat desa yang mereka tinggali. Akhirnya, Pakde KM merasa gengsi, bahkan tak jarang juga merasa dengki, untuk mengakui gagasan dan mengikuti pergerakan mereka, para pemuda.
Idealisme bercampur sinisme seperti yang dimiliki Pakde KM ini dalam jangka panjang bisa saja membuat semangat atau optimisme para pemuda menjadi terkikis sedikit demi sedikit. Akhirnya, para pemuda bisa menjadi apatis terhadap apa saja yang dan akan terjadi pada peradaban masyarakatnya. Memprihatinkan.
Nah, untuk megurangi bahkan menghilangkan hal tersebut, perlulah rasanya bagi semua pihak agar lebih banyak belajar, bergaul, dan menimba kepekaan dengan jalan membuka diri pada dialog terbuka dan langsung. Adapun teknisnya, diserahkan kepada semua pihak untuk mengatur bagaimana dialog terbuka dan langsung itu diselenggarakan. (Atur-atur wé, da geus garedé ieuh).
Intinya, “Ngaji, Fardhu! Gaul, Kudu!” Kira-kira begitu.
Akhirnya,
Peradaban masyarakat adalah Ibu Utama bagi para anak didik bangsa baik yang duduk di bangku sekolah atau tidak sama sekali. Lantas, dalam beberapa kesempatan, kenapa masih saja ada seseorang atau beberapa orang dari golongan masyarakat yang begitu sulit untuk mulai menerapkan peradaban yang keibu-ibuan tersebut? Jika tetap seperti demikian, lalu kepada siapa lagi pemuda harus menumpahkan pengabdiannya?

Komentar

Postingan Populer