Ramadhan yang Pilu?
Beberapa hari
menjelang datang atau masuknya bulan Suci Ramadhan, beramai-ramai orang memprediksi
bahwasannya, “Ramadhan di tahun ini akan sangat berbeda sekali dengan Ramadhan di
tahun-tahun sebelumnya.” Saking ramainya, Indonesia dibanjiri oleh prediksi
tersebut, entah itu yang disampikan secara lisan ataupun secara tulisan.
Kita semua tahu
dan (mungkin) sepakat bahwa penyebab utama dari adanya prediksi tersebut adalah
wabah Novel Coronavirus (Covid-19), yang kemudian melatarbelakangi adanya beragam
imbauan dan anjuran yang datang dari pemerintah dan ulama. Tak
tanggung-tanggung, satu di antara anjuran tersebut adalah adanya kebolehan
untuk tidak melaksanakan Shalat Jumat yang disampaikan oleh ulama.
Hal tersebut
sontak membuat sebagian umat Islam marah, kecewa, dan tentu saja tidak mau
menerima anjuran tersebut. Menurut mereka, anjuran tersebut bertentangan dengan
dalil-dalil keislaman yang mereka ketahui. Akan tetapi, yang paling disayangkan
dari itu semua adalah mereka sampai berani menyalahkan dan melakukan hal yang
tidak baik terhadap para ulama. Naudzubillah.
Meski dirasa
ganjil atau janggal, anjuran tersebut tentu saja memiliki sebab yang sah
menurut agama (Illat) dan memiliki maksud serta tujuan baik, yaitu demi
kepentingan dan keselamatan bersama baik dalam bernegara ataupun beragama.
Intinya, para ulama tidak mungkin asal-asalan dalam mengeluarkan anjuran atau
fatwa.
Selanjtunya,
tugas kita sebagai masyarakat awam adalah mendengar dan mematuhinya. Jika
memang tidak bisa menerima dan ingin membantahnya, bantahlah dengan kadar
keilmuan yang sama. Jangan hanya bisa mencela dan menyalahakan saja. Khalifah
Ali berkata: “Andai yang tidak berilmu mau diam sejenak, niscaya gugur
perselisihan yang banyak.”
Selain anjuran
di atas, ada juga beberapa imbauan dari pemerintah yang sifatnya kemudian bisa
membuat suasana keberlangsungan Ramadhan, khususnya di pedesaan atau
perkampungan, menjadi sangat berbeda. Sepi dan tidak semarak. Pertama,
imbauan tidak diperbolehkannya perantau untuk mudik ramadhan dan lebaran.
Kedua,
imbauan agar masyarakat menjalankan serangkaian aktivitas dan peribadahannya di
rumah masing-masing. Namun, yang perlu diingat dan digarisbawahi, meskipun
Ramadhan tahun ini terasa sepi dan tidak semarak, adalah kemuliaan Ramadhan
tidak akan pernah berkurang atau hilang sedikitpun.
…
Menginjak 10
hari ke-2 di bulan Ramadhan, seluruh umat bergama di penjuru dunia, khususnya
di Indonesia, tampaknya masih belum menemukan jawaban untuk pertanyaan: Kapan
pandemi Covid-19 akan berakhir? Di Indonesia sendiri, pertanggal 04 Mei 2020/11 Ramadhan 1441 H, angka kematian karena Covid-19 telah mencapai 864 orang. Hampir
seribu. Hampir setiap hari pula kita disuguhi kematian. Memilukan.
Apabila dilihat
dari dari satu sudut pandang, maka Ramadhan kali ini adalah sebagaimana
tertulis di atas, yakni sepi, tidak semarak, dan memilukan. Akan tetapi, jika
dilihat dari sudut pandang yang lain, maka bisa jadi dan sah-sah saja
menganggap atau memandang Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan yang paling
syahdu. Benar bukan?
Komentar
Posting Komentar