Dari Sudut Kanan Sebuah Halte

Pagi ini sama seperti pagi-pagi yang sebelumnya, dari sudut sebelah kanan sebuah halte, kulihat anak-anak seusiaku turun dan keluar dari bus berwarna kuning. Seragam mereka bersih dan wangi, sepatu bagus dan terlihat mengkilat. Selain dari bus, ada beberapa anak yang turun dan keluar dari kendaraan orangtuanya, ada yang diantar tukang ojek, ada yang naik angkot, ada yang naik sepeda dan ada juga yang berjalan kaki.

Dari sudut kanan halte yang sama, setelah anak-anak habis ditelan gerbang sekolah, kulihat seorang lelaki tua berpakaian lepek dan lusuh tengah sibuk mengorek-ngorek tempat sampah, mencari sesuatu yang  kiranya masih berharga baginya. Pemulung, lelaki tua itu adalah seorang pemulung.

Tamparan sinar matahari yang mulanya hangat perlahan mulai memanas. Sementara itu sang pemulung masih asyik berjalan mencari barang bekas, membuatku menjadi asyik dan terarik untuk mengikutinya. Sesekali kulihat sang pemulung bermuka masam saat tak kunjung menemukan barang bekas yang masih bisa diambil manfaatnya. Juga sebaliknya, kulihat sang pemulung bermuka cerah dihiasi senyum manis dan menawan saat menemukan barang bekas yang masih bisa diambil manfaatnya.

Aku semakin tertarik dengan lelaki tua itu, sesosok lelaki tua yang begitu hebat, kuat dan tangguh menghadapi keras dan derasnya arus kehidupan ibu kota. Hebatnya lagi, tak satupun kutemukan pergunjingan tentang pemulung tua itu, semua bersimpati kepadanya.

Malam pun tiba, perlahan dunia mulai menggelap hingga akhirnya terlelap di bawah sinar rembulan, tapi lelaki tua itu masih saja terjebak dalam hiruk-pikuknya ibu kota. Tak jarang ia harus terseret juga diseret oleh derasnya arus persaingan hidup. Tertindas, terlantar dan terlupakan dari peradaban. Hukum rimba, begitu ia menyebutnya.